ngobrol soal etika periklanan [kata - kata superlatif]

>> Monday, 16 March 2009

1.2.2 Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti "paling", "nomor satu", "top", atau kata-kata berawalan "ter", dan atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menjelaskan keunggulan tersebut yang harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik.

Beberapa hari yang lalu pas lagi buka - buka internet bwat nyari gantinya indosat 3.5 G yang jaringannya makin ancur. trus nemu ini nih... :

http://mobile-8.com/mobi/

sebuah iklan tentang tarif internet mobil-8 yang murah.


Wuit.... kebetulan banget mata gw pas banget tertuju ke kata : "Tarif Termurah PRABAYAR Rp 0,1/kb... " widih... ada kata "Termurah"... ingatan gw langsung berputar balik ke sebuah topik di milis CCI tentang kata - kata superlatif. Yang gue inget sih waktu itu kata - kata superlatif seperti Termurah, Terbaik itu seharusnya tidak boleh di tampilkan dalam iklan. Saking penasarannya gw coba iseng - iseng nanya ke praktisi yang emang bergerak di bidang periklanan, biar tau lebih jelas gitu...

dan ini jawaban yang di berikan ama om Djito Kasilo
Superlatif boleh digunakan, asalkan mencantumkan pembuktianya. Misalkan di antara semua merk rokok, kalo diukur atau dijejerkan terbukti Ji Sam Soe paling panjang, dia boleh bilang "rokok terpanjang".

Tapi dia tidak boleh bilang "rokok terenak", karena enak gak bisa diukur/dibuktikan. Pakai aja ini sebagai dasar boleh atau tidaknya pake kalimat/kata superlatif.

Iklan internet tsb jelas melanggar etika.
Dia pake superlatif tanpa mencantumkan pembuktiannya.
Masyarakat bisa melaporkan pada BPP (Badan Pengawas Periklanan).
Kebetulan ketua BPP adalah Ridwan Handoyo (bossnya LOWE), yang juga member milis CCI. Agensi yg melanggar akan ditegor, dan disuruh merevisi. kalo agensinya tidak bisa membuktikan, maka harus mencabut iklan tsb (apa pun medianya).

Bahkan bisa diperkarakan di bawah UU Perlindungan Konsumen.
adalagi jawaban dari praktisi lainnya yaitu Handoyo, Ridwan dari LWW :
sedikit uraian tambahan mengenai superlative. Hal2 yg bersifat relative (spt “rokok tereenak” dlm contoh Djito di bawah), sebenarnya tetap boleh digunakan selama ada pembuktiannya. Pembuktian itu biasanya bisa berupa hasil survey juga (kalau “terpanjang” krn berkaitan dgn fisik rokok, kan dengan mudah bisa langsung dijejer saja hehe). Jadi misalnya: Rokok A terbukti paling enak berdasarkan riset dari perusahaan riset X pada tahun 2009. Tentu saja pencantuman nama perusahaan riset tsb juga sudah harus seijin dr perusahaan yg bersangkutan.
kalo dipikir - pikir sih kata - kata termurah seperti itu sering kali emang menjebak konsumen, misalnya di contoh iklan yang saya kasih di bilangnya Rp 0,1 / Kb. Memang sih sepengetahuan saya kalo diliat angkanya emang paling murah, tapi kalau lebih di cermati jatohnya ada yang lebih murah misalnya internet unlimited dari IM2, Indosat ataupun dari telkomsel yang harganya berkisar 125 ribu perbulan dengan tidak ada batasan besaran file yang di download, hanya speednya saja yang berkurang setelah mencapai quota tertentu. misal di bandingin dengan jumlah yang sama, misalnya 2Gb (± 2.000.000kb) maka per-Kbnya untuk internet unlimited dengan harga 125ribu perbulan adalah Rp. 0,065/Kb :D hehehe... jauh lebih murah kan? itu hanya 2Gb lho... apalagi kalau dipakai sampai 100Gb tetep sama aja tuh bayarnya :D cuman seratus ribuan, coba bandingkan dengan tarif Rp. 0,1 / Kb kalau di pakai sampai 100Gb.. hasilnya adalah ± Rp 10 Juta...

jadi dalam posisi gw sebagai konsumen, boleh dong kalo bilang : "gue di bohongi ama iklan tersebut?" trus seperti yang di bilang oleh kedua praktisi di atas, kita (konsumen) berhak untuk memperkarakannya. (serem ui..)

trus gw bertanya lagi nih:
brarti ini mencakup semua jenis iklan ya? kalo iklan semacem advetorial di majalah/koran gitu? termasuk juga? mmm... trus kl misal melanggar gitu, sanksi yang di kenakan hanya pencabutan iklannya aja ya? atau ada yang lebih berat gitu? misal di lakukan berulang kali oleh agency yang sama? hehehe... biar menimbulkan efek jera? :D
di jawab ama om ridwan :
Ya…di EPI anda bisa baca dibagian definisi “Iklan” apa saja yg dimaksud dgn pengertian iklan di EPI. Advertorial juga termasuk. Iklan Web juga termasuk…juga SMS.

Mengenai sanksi: EPI itu adalah hukum normatif, jadi sanksinya ya sanksi normatif, bukan sanksi hukum. BPP sebagai badan yg menegakkan EPI hanya bisa memberikan teguran dan bimbingan kpd biro iklan aggt PPPI yg melakukan pelanggaran EPI. BPP tidak berhak melakukan tuntutan hukum positif atas suatu pelanggaran etika. TAPI, anda sbg konsumen, silakan saja bila merasa dirugikan oleh suatu iklan lalu melakukan class action (atau melalui YLKI) hukum. Hal ini diatur oleh UU Perlindungan Konsumen.
Kalo di pikir - pikir, meskipun tidak ada sanksi hukumnya. Sebetulnya sanksi yang di dapet itu lebih berat lho... apalagi kalau sampai ada konsumen yang melakukan class action. Udah dah... langsung jatoh itu produk... misalnya dalam hal ini mobile 8 yang "berbohong" dengan mengatakan tarif termurah... Apalagi sekarang udah jamannya milis dan forum, dimana sebuah kasus seperti ini bisa dengan cepatnya menyebar. Dan tentunya yang di pertaruhkan adalah nama baik dari Brand yang ada di iklan tersebut dan ujung - ujungnya yang kena masalah juga ya... yang bikin iklan... dalam hal ini agency-nya...

berikut email penutup dari bang ridwan :

1. Kreatifitas periklanan adalah kreatifitas yang harus dapat dipertanggung-jawabkan, karena hasilnya harus dapat dipertanggung-jawabkan pada stakeholdersnya. Dua stakeholders terpenting adalah: pemesan iklan dan konsumen. Bahkan mungkin bagi sebagian orang, konsumen adalah (dan seharusnya) stakeholders terpenting dalam bisnis periklanan. Kreatifitas periklanan dengan demikian berbeda dgn aliran seni murni (pelukis misalnya) yg akan melukis apapun yg dia sukai, tanpa harus peduli (atau bertanggung-jawab) apakah pemirsanya nanti akan suka atau tidak (contohnya ya pelukis2 terkenal seperti Van Gough, Picasso, Affandi dlsb). Cukup banyak pelukis terkenal yg sebenarnya pada jamannya mereka masih hidup samasekali tidak terkenal. Jadi, kalau ada insan kreatif periklanan “mengeluh” krn terlalu banyak “aturan” dalam membuat iklan, lebih baik dia gak usah jadi insan kreatif periklan deh…salah masuk dia hehe

2. Terkait dgn di atas, etika periklanan justru disusun agar insan kreatif periklanan menyadari adanya hal-hal yang justru dapat membuat pesan yg ingin disampaikan bukannya diterima dengan positif oleh konsumennya tapi malah mendapatkan kesan negatif. Kalau begini kan yg rugi ya industri periklanan sendiri…industri ini jadi kehilangan kredibilitasnya di mata konsumen (ekstrimnya: konsumen tidak percaya lagi pada iklan). Etika disusun berdasarkan kondisi sosial budaya suatu bangsa. Apa yg mungkin tidak masalah (secara etika) disuatu negara, bisa jadi menjadi bermasalah di negara/bangsa lain (contoh menampilkan ketiak di film/iklan di Malaysia dianggap tidak etis, tapi tidak masalah di Indonesia). Jadi “pagar-pagar” itu justru dibuat agar suatu pesan iklan dapat diterima dengan baik (secara sosial budaya) di masyarakat yang menjadi target konsumennya. Ungkapan anda di bawah tepat sekali: kalau anda saja sebagai konsumen bisa memahami bahwa ada potensi “penipuan” pada klaim iklan Mobile 8 tsb, kan berarti iklan itu menjadi berkesan negatif. Saya menduga, iklan2 yg melanggar etika periklanan itu mungkin memang ditujukan bagi konsumen yg dinilai “bodoh” oleh pengiklan/biro iklannya. Nah, apakah konsumen mau dinilai sebagai “orang bodoh” terus? Sampai kapan?? Teori2 marketing dan advertising modern justru arahnya ingin mengetahui consumer insight agar dapat menyusun iklan yg komunikatif, bukan “menjejali” mereka dgn “kreatifitas yang liar” tapi sebenarnya sangat tidak efektif dan malah “fire back” kepada (perusahaan) pengiklan dan iklannya (produknya) itu sendiri.

3. Etika dengan demikian adalah suatu “aturan normatif/informal” yang ada pada sekumpulan masyarakat (sifatnya kolektif). Etika tidak sama dengan hukum positif yg sifatnya berlaku secara umum disuatu negara dan mempunyai sanksi pidana/perdata. Di Indonesia, dgn demikian banyaknya suku, harus diakui mempunyai kompleksitas etika yg jauh lebih tinggi dibandingkan negara2 lain yg jumlah sukunya tidak sebanyak kita. Artinya, semakin heterogen suatu bangsa, semakin kompleks masalah etika ini. Contoh: mengangkat kaki ke atas meja di suku Jawa pasti langsung ditegur sebagai tindakan yang tidak etis. Mungkin tindakan yg sama ini di suku lain di Indonesia, sama-sekali tidak bermasalah. Dengan semakin kompleksnya masalah etika di Indonesia, maka kehadiran EPI (suatu panduan etika yg dibukukan) menjadi penting artinya. Dengan dibukukan, ia menjadi panduan yang dapat dipelajari, didalami dan dikembangkan bersama. Karena EPI bukan hukum positif, maka EPI juga harus disadari dapat berubah setiap saat (bersifat dinamis), menyesuaikan diri dengan kondisi sosial budaya yg ada di bangsa ini (lain dgn hukum positif yg sifatnya lebih kaku, susah dirubah dan kalaupun berubah sering lebih disebabkan oleh alasan2 politis).

4. Mengingat hal-hal di atas, maka industri periklanan mempunyai asas SWAKRAMAWI – mengatur dirinya sendiri (tidak hanya di Indonesia, tapi juga di banyak negara lain, bahkan bbrp minggu lalu saya bertemu dgn delegasi insan periklanan dari China dan mereka juga ingin mengadopsi konsep swakramawi ini). Caranya? Marilah para insan periklanan mendewasakan diri mereka masing2 (dalam konteks memahami etika periklanan dengan sebaik-baiknya) sehingga kita bisa terhindar dari kehadiran pihak2 di luar industri kita (termasuk pemerintah!) “mengatur” industri ini. Malulah dan minta maaflah bila melanggar etika (bukankah ini salah satu etika sopan santun yg selalu diajarkan oleh orang-tua kita juga bila kita berbuat salah kepada mereka?).
kalo kata orang, "saat kita kepepet biasanya jadi makin kreatif..." hehehehe... dan harusnya sih etika soal superlatif gini jadi lahan kreatif buat semua copywriter dalam merangkai kata yak? (tapi sering juga sih liat kata - kata ajaib buat gantiin kata - kata superlatif ini, yang paling gw inget iklan HIT. "yang lebih bagus dari HIT?.... yang lebih mahal banyak...." hahahha...jatohnya lebih keren) seperti yang terjadi dalam iklan rokok :D... gara - gara dikekang nggak boleh memperlihatkan gambar rokok, jadinya ide - idenya malah jadi lebih gokil...

jangan sampe "menggali lubang sendiri".

Dan berikut ini beberapa etika yang ada :
1.2 Bahasa

1.2.1 Iklan harus disajikan dalam bahasa yang bisa dipahami oleh khalayak sasarannya, dan tidak menggunakan persandian (enkripsi) yang dapat menimbulkan penafsiran selain dari yang dimaksudkan oleh perancang pesan iklan tersebut.

1.2.2 Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti "paling", "nomor satu", "top", atau kata-kata berawalan "ter", dan atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menjelaskan keunggulan tersebut yang harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik.

1.2.3 Penggunaan kata-kata tertentu harus memenuhi ketentuan berikut:

a. Penggunaan kata "100%", "murni", "asli" untuk menyatakan
sesuatu kandungan, kadar, bobot, tingkat mutu, dan sebagainya, harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik.

b. Penggunaan kata "halal" dalam iklan hanya dapat dilakukan oleh
produk-produk yang sudah memperoleh sertifikat resmi dari Majelis Ulama Indonesia, atau lembaga yang berwenang.

c. Pada prinsipnya kata halal tidak untuk diiklankan. Penggunaan
kata "halal" dalam iklan pangan hanya dapat ditampilkan berupa label pangan yang mencantumkan logo halal untuk produk-produk yang sudah memperoleh sertifikat resmi dari Majelis Ulama Indonesia atau lembaga yang berwenang.

d. Kata-kata "presiden", "raja", "ratu" dan sejenisnya tidak boleh
digunakan dalam kaitan atau konotasi yang negatif.

1.3 Tanda Asteris (*)


1.3.1 Tanda asteris pada iklan di media cetak tidak boleh
digunakan untuk menyembunyikan, menyesatkan, membingungkan atau membohongi khalayak tentang kualitas, kinerja, atau harga sebenarnya dari produk yang diiklankan, ataupun tentang ketidaktersediaan sesuatu produk.

1.3.2 Tanda asteris pada iklan di media cetak hanya boleh digunakan untuk memberi penjelasan lebih rinci atau sumber dari sesuatu pernyataan yang bertanda tersebut.

1.5 Pemakaian Kata "Gratis"


Kata "gratis" atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh
dicantumkan dalam iklan, bila ternyata konsumen harus membayar biaya lain. Biaya pengiriman yang dikenakan kepada konsumen juga harus dicantumkan dengan jelas.

1.6 Pencantum Harga

Jika harga sesuatu produk dicantumkan dalam iklan, maka ia harus
ditampakkan dengan jelas, sehingga konsumen mengetahui apa yang akan diperolehnya dengan harga tersebut.

1.12 Perlindungan Hak-hak Pribadi


Iklan tidak boleh menampilkan atau melibatkan seseorang tanpa
terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari yang bersangkutan, kecuali dalam penampilan yang bersifat massal, atau sekadar sebagai latar, sepanjang penampilan tersebut tidak merugikan yang bersangkutan.

1.17 Kesaksian Konsumen (testimony).


1.17.1 Pemberian kesaksian hanya dapat dilakukan atas nama
perorangan, bukan mewakili lembaga, kelompok, golongan, atau masyarakat luas.

1.17.2 Kesaksian konsumen harus merupakan kejadian yang
benar-benar dialami, tanpa maksud untuk melebih-lebihkannya .

1.17.3 Untuk produk-produk yang hanya dapat memberi manfaat atau
bukti kepada konsumennya dengan penggunaan yang teratur dan atau dalam jangka waktu tertentu, maka pengalaman sebagaimana dimaksud dalam butir 1.17.2 di atas juga harus telah memenuhi syarat-syarat keteraturan dan jangka waktu tersebut.

1.17.4 Kesaksian konsumen harus dapat dibuktikan dengan pernyataan
tertulis yang ditanda tangani oleh konsumen tersebut.

1.17.5 Identitas dan alamat pemberi kesaksian jika diminta oleh
lembaga penegak etika, harus dapat diberikan secara lengkap. Pemberi kesaksian pun harus dapat dihubungi pada hari dan jam kantor biasa.

1.19 Perbandingan


1.19.1 Perbandingan langsung dapat dilakukan, namun hanya terhadap
aspek-aspek teknis produk, dan dengan kriteria yang tepat sama.

1.19.2 Jika perbandingan langsung menampilkan data riset, maka
metodologi, sumber dan waktu penelitiannya harus diungkapkan secara jelas. Pengggunaan data riset tersebut harus sudah memperoleh persetujuan atau verifikasi dari organisasi penyelenggara riset tersebut.

1.19.3 Perbandingan tak langsung harus didasarkan pada kriteria
yang tidak menyesatkan khalayak.

1.20 Perbandingan Harga


Hanya dapat dilakukan terhadap efisiensi dan kemanfaatan
penggunaan produk, dan harus diseretai dengan penjelasan atau penalaran yang memadai.

1.21 Merendahkan


Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung
maupun tidak langsung.

1.22 Peniruan


1.22.1 Iklan tidak boleh dengan sengaja meniru iklan produk
pesaing sedemikian rupa sehingga dapat merendahkan produk pesaing, ataupun menyesatkan atau membingungkan khalayak. Peniruan tersebut meliputi baik ide dasar, konsep atau alur cerita, setting, komposisi musik maupun eksekusi. Dalam pengertian eksekusi termasuk model, kemasan, bentuk merek, logo, judul atau subjudul, slogan, komposisi huruf dan gambar, komposisi musik baik melodi maupun lirik, ikon atau atribut khas lain, dan properti.

1.22.2 Iklan tidak boleh meniru ikon atau atribut khas yang telah
lebih dulu digunakan oleh sesuatu iklan produk pesaing dan masih digunakan hingga kurun dua tahun terakhir.

2.7 Kosmetika


2.7.1 Iklan harus sesuai dengan indikasi jenis produk yang
disetujui oleh Departemen Kesehatan RI, atau badan yang berwenang untuk itu.

2.7.2 Iklan tidak boleh menjanjikan hasil mutlak seketika, jika
ternyata penggunaannya harus dilakukan secara teratur dan terus menerus.

2.7.3 Iklan tidak boleh menawarkan hasil yang sebenarnya berada di
luar kemampuan produk kosmetika.

2 comments:

Unknown 5 April 2011 at 16:27  

untuk etika periklanan yg terakhir sepertinya msh banyak sisa per'babnya ya?..kl bs mohon kirim ke email saya dlm bentuk file apapun untuk melengkapi penelitian skripsi sy ttg "hubungan dominasi kalimat superlatif pada billboard luar ruang dengan stigmatisasi pada iklan operator seluler di Indonesia".trmksh atas bantuannya smg bantuan dr anda bermanfaat untuk kedepannya

email n contact: indra_blurry_barker@yahoo.co.id
085715174124

fierman much 5 April 2011 at 23:17  

sudah di kirim via email ya mas, :D

Post a Comment

  © Blogger template Simple n' Sweet by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP