disaat persaingan menjadi semakin tidak sehat, sepertinya brand building menjadi satu hal yang sangat patut untuk di pertimbangkan... memang sih secara tidak langsung sebetulnya semua fotografer sudah membangun brand buildingnya masing – masing namun sepertinya tidak dengan sebuah konsep brand building yang mumpuni.
Pertama kali saya memikirkan tentang brand building dalam dunia fotografi adalah beberapa bulan yang lalu saat saya sedang membaca buku karya Budiman Hakim “Lanturan Tapi Relevan”. Dan pemikiran ini kembali muncul saat membaca sebuah email dari moderator milis Thelight yang berjudul “BREAKING NEWS: AMBRUKNYA COMMERCIAL PHOTOGRAPHY INDONESIA “ wow... sebegitu parahnya kah? Yup... sepertinya memang begitu.
berikut sedikit cuplikan email tersebut :
Dear all,
Hari ini saya berbicara dengan salah seorang commercial (iklan) photographer
mengenai hancurnya bisnis fotografi untuk keperluan iklan. Selama beberapa
bulan terakhir ada beberapa orang fotografer yang juga manyampaikan hal yang
senada. Untuk itu, saya berinisiatif menawarkan mereka (fotografer iklan)
yang pernah menyampaikan keluh kesahnya kepada saya untuk dipertemukan
dengan sesama fotografer iklan dan juga junior-juniornya yang
mau/akan/tertarik/sudah mulai masuk ke dalam bidang iklan sebagai profesi
untuk membahas hal ini.
Kenapa hancur, ada beberapa faktor:
1. Tidak ada standarisasi harga. Semuanya bersaing mau dapet klien. Akhirnya
selalu mematok harga yang lebih rendah dari pesaing. Akhirnya saling
menurunkan harga.
2. Adanya ³oknum² di fotografi yang selalu memberikan komisi kepada pihak
perusahaan periklanan atas setiap job yang masuk dengan angka yang nggak
masuk akal.
3. Banyak klien yang nggak mau nalangin biaya produksi (props, make up
artist, set, dll) sehingga photographer yang harus nalangin dulu (angkanya
bisa mencapai puluhan juta per project)
4. pembayaran yang begitu lama, terutama dari perusahaan periklanan.
Rata-rata 3 bulan sampai 6 bulan. Bahkan ada yang sampai 16 bulan.
5. adanya ³oknum² yang mengaku fotografer dengan menjalankan jasa fotografi
namun tidak mengerti betul tentang fotografi. Jadi setiap project ia
mempekerjakan orang yang sudah lebih piawai mengenai lighting produk yang
akan difoto, lalu si ³fotografer² hanya menjepret saja.
6. kurangnya pendidikan yang tepat dari kursus/sekolah fotografi, majalah,
komunitas yang ada. Sebagian besar dari mereka selalu mengkampanyekan bahwa
memotret itu mudah. Ketika bisa membeli kamera DSLR hi end dan peralatan
canggih lainnya, maka jadilah mereka professional photographer. Akhirnya
ketika mereka masuk ke industri dan sulit bersaing, pilihan untuk eksis
adalah menurunkan harga.
7. Hampir tidak ada atau mungkin tidak ada satu
sekolah/kursus/komunitas/media fotografi yang mendidik mereka yang ingin
menjadi profesional mengenai etika bisnis fotografi, perhitungan harga
fotografi. Akhirnya bisnisnya ³asalah bisa jalan² harga murah nggak masalah,
etikanya ditabrak nggak masalah.
8. Kondisi krisis global yang menyebabkan klien memotong budget pengeluaran
mereka, sehingga tawaran harga yang lebih murah menjadi menarik.
9. dan masih banyak lagi.
Sebenarnya ini adalah masalah mereka yang saat ini sudah berada di level
profesional. Tapi karena regenerasi bertahan terus, proses edukasi mengenai
hal ini tidak bisa dilakukan hanya kepada mereka yang sudah exist di
industrinya. Tapi juga mereka yang baru masuk atau akan masuk ke industri
ini supaya semua yang masuk aturan mainnya bisa dijaga.
Sebetulnya hal ini sudah saya perkirakan sejak beberapa waktu yang lalu, bahwa lambat laun “harga” sebuah jasa fotografi di dunia komersil lambat laun akan semakin hancur. Sama seperti hancurnya harga jasa fotografi di dunia wedding. Dan menurut saya kehancuran tersebut di sebabkan oleh semakin banyaknya Fotografer yang menggunakan prinsip melacur dalam memulai karirnya. “Terserah mau di bayar berapa asalkan saya bisa motret komersil, It's OK!!” dan itulah awal mula terjadinya kehancuran di dunia fotografer komersil. Mungkin hal itu tidaklah menjadi masalah jika hanya sedikit sekali orang yang melakukan hal tersebut, masalahnya sekarang ini banyak sekali fotografer super instan yang melakoni hal tersebut. Sehingga mau tidak mau perang harga yang sangat tidak sehatpun terjadi dan ujung – ujungnya sudah dapat di pastikan lambat laun para fotografer komersilpun tidak ”di hargai” selayaknya...
Tapi... saya rasa tidak semua fotografer terkena imbas tersebut, Fotografer komersil yang benar – benar berada di papan atas sepertinya tidak terlalu terpengaruh dengan badai ini. Kenapa? Saya menebaknya adalah karena sebuah brand building yang entah itu sengaja di bangun atau tidak sengaja di bangun oleh fotografer papan komersil papan atas tersebut.
Sebagai contoh saja kita ambil nama Sam Nugroho. Mungkin sudah banyak yang tahu bahwa Sam saat ini memiliki predikat sebagai fotografer dengan harga yang paling mahal di indonesia, dan meskipun harganya mahal tetap saja banyak klien yang mau memakai jasanya. Dan di tahap inilah harga “sudah tidak menjadi soal”, bukan berarti Sam bisa mematok harga setinggi langit banget sih... tapi setidaknya para klien sudah terlanjur “cinta” dengan service yang diberikan oleh Sam Nugroho.
Mungkin di mata para kliennya Sam begini pemikiran yang ada “jika saya motret dengan sam saya memiliki beberapa keuntungan, yang pertama klien pasti suka, karena yang motret salah satu fotografer papan atas di indonesia. Dan sudah pasti service-nya yang memuaskan, baik itu dalam kecepatan, kualitas pastinya, dan hal – hal lainnya.” dan ketika sudah mencapai taraf tersebut, perang harga sepertinya sudah tidak menjadi soal baginya (Sam Nugroho-red). Namun bagaimana dengan fotografer komersial kelas menengah atas? It's So Hard. I think.
Read more...